Visi Misi Kehidupan

Tema ; Kemanusiaan

Oleh : Eza Azerila


_

Pondok Pancasila – Kesadaranmu membuka kehidupanmu. Akalmu menuntun jalanmu. Niatmu menguatkan tekadmu. Tindakanmu menuliskan sejarahmu. Kebiasaanmu mengukir nasibmu. Nasibmu hasil akhir perjalananmu.

Jika hidupmu tidak penting, buat apa Tuhan mengutusmu ke alam ini? Jika hidupmu penting mengapa engkau membuang-buang masa baktimu ?

Pengetahuan

Paket : Edukasi

Tema : Pengantar Logika

Oleh : Abrahami

Catatan : Eza Azerila

___________

Pondok Pancasila – Bicara pengetahuan hanya bicara soal subjek dan objek. Soal pelaku dan yang diperlakukan. Bahwa objeknya bersifat material atau non-material itu bukan masalah. Yang penting pengetahuan butuh objek.

Subjek pengetahuan adalah jiwa. Jiwa dengan kelengkapan alat-alatnya ; indera, imajinasi dan akal. Objek pengetahuan disebut perantara atau korespondensi. Syarat pengetahuan adalah metodis, sistematis, dan universal yang darinya lahir teori.

Pengetahuan di atas di mana subjeknya (interior) dan objeknya (eksterior) disebut pengetahuan korespondensi atau pengetahuan dengan perantara.

Selain pengetahuan korespondensi adalah pengetahuan presensi. Pengetahuan presensi adalah subjek dan objeknya satu : diri atau jiwa. Syarat pengetahuan presensi atau hudluri ini adalah kesadaran intuisi.

Kedekatan Tuhan

Paket : Edukasi

Tema : KeTuhanan

Pondok Pancasila

Tuhan berfirman kepada Musa as :

Wahai Musa, perhatikan 4 wasiatku ini :

Pertama ; selama engkau tidak tahu bahwa dosa-dosamu telah diampuni, jangan lah kau sibuk dengan cela dan aib pihak lain.

Kedua : Selama engkau tahu bahwa perbendaharaanku tidak kan habis, janganlah engkau khawatir dengan sebab-sebab rizkimu.

Ketiga : selama engkau tidak melihat kehancuran kerajaanKu, janganlah engkau mengharap selain dariKu.

Keempat : selama engkau tahu bahwa syetan belum mati, janganlah engkau merasa aman dari tipu dayanya.

Peran Akal

Paket : Edukasi

Tema : Ketuhanan

Oleh : Eza Azerila

Pondok Pancasila – Setiap agama, apa pun agama itu, tidak ada yang dapat membatasi Tuhan. Tidak ada yang dapat mendefinisikan Tuhan. Maha Suci Tuhan dari seluruh teori, konsepsi, definisi dan anggapan akal manusia tentang Dia.

Lalu bagaimana kita berTuhan? BerTuhan adalah upaya mendekatiNya. Mendekati cahayaNya. Mendekati keagunganNya. Mendekati cintaNya. Mendekati keluasanNya. Mendekati keindahanNya.

Mendekati kesempurnaanNya.

Semakin seorang hamba mendekat kepada keagungan-Nya semakin mengecil eksistensi sang hamba. Semakin mendekat ke dalam keluasan-Nya semakin tenggelam keakuan sang hamba.

Semakin jauh seorang hamba dari Tuhannya semakin menguat ilusi dirinya. Semakin menguat ilusi dirinya semakin ia mempertuhankan dirinya. Semakin ia mempertuhankan dirinya semakin ia mengecilkan apa dan siapa pun di luar dirinya.

Manusia itu ambigu. Manusia bisa menjadi apa saja, tergantung apa yang memengaruhi dirinya. Jika setan yang memengaruhinya maka ia jadi kesetanan. Jika Tuhan yang memengaruhinya maka dia jadi ketuhanan.

Agama tidak menjamin manusia menjadi ketuhanan atau kesetanan. Hanya manusia yang kuat kemanusiaannya yang dapat menyikapi agama dengan baik. Adapun jika manusia berwatak dasar liar-kehewanannya, maka secanggih apapun suatu agama tidak akan bermanfaat buat dirinya.

Orang terbaik dan terjahat di dunia ini adalah orang yang beragama. Bukan salah agamanya tapi mereka salah dalam menyikapi agamanya.

Di tangan orang bodoh, Agama yang penuh rahmat kasih sayang berubah menjadi penuh kutukan. Agama yang ilmiah jadi tahayul. Agama yang luas jadi sempit. Agama yang ramah jadi penuh amarah. Agama tuntunan jadi tontonan. Agama yang mempersatukan jadi memecahbelah.

Agama yang datang untuk mengenalkan Tuhan Yang Maha Pengasih, disebarkan untuk mengenal tuhan yang maha porakporanda.

Simaklah apa kata Shadra berikut :

Tuhan itu tak terbatas, tanpa ruang, dan tanpa waktu

Namun dia menjadi kecil sesuai dengan pemahamanmu

Namun dia akan datang sebatas kebutuhanmu

Namun keluasanNya sebatas harapanmu


Namun pembicaraannya sebatas keimananmu

Mereka yang yatim, Dia menjadi ayah dan Ibunya

Mereka yang butuh saudara, dia akan menjadi saudaranya

Mereka yang putus harapan, Dia menjadi harapan baginya


Mereka yang tersesat, denganNya akan menemukan jalan

Mereka yang berada dalam kegelapan akan mendapatkan cahaya Nya

Mereka yang sakit akan disembuhkan Nya

Tuhan akan menjadi segalanya dan bersama seluruh manusia


Namun dengan syarat keyakinan, dengan syarat kesucian hati, dengan syarat kesucian Ruhani

Dengan syarat menjauhi perkawanan dengan setan


Cucilah hatimu dari segala keburukan

Cucilah pikiranmu dari segala pemikiran yang salah

Cucilah perkataanmu dari segala perkataan buruk

Karena dia senantiasa menantimu dan memanggilmu di setiap lorong lorong keheningan malam


Salam Pancasila

Ketuhanan Yang Maha Esa

Islam Tapi Tidak Islami

Paket : Edukasi

Tema : Efek Ketuhanan YME

Sumber : Restu

kebersihan-sebagian -dari-iman

Jangan hanya mengaku islam.

Tapi tidak menunjukan prilaku islam yang rahmatan-lilalamin. Yang menjadi penjaga kelestarian alam dan kemaslahatan sesama manusia. Islam itu pola pikir & prilaku benar, baik, & tulus ikhlas secara maslahat manusia.

SYAIKH Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang.

Kepada Renan, filosof Prancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya.

Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur itu mengatakan.

“Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukkan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam”.

Dan Abduh pun terdiam.

Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan.

Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah s.a.w.

Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai ‘islamicity index’ mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa islami negara-negara tersebut.

Hasilnya ?

Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami.

 

Indonesia ?

Harus puas di urutan ke 140. Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan bertengger di ‘ranking’ 100-200.

 

Apa itu islam ?

Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami ?

Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa :

“Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat dari tangan dan lisannya”

Itu indikator.

Atau hadits lainnya yang berbunyi:

“Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat”

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga … hormati tamu.”

 

“Bicara yang baik atau diam”.

 

Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.

Dengan indikator-indikator diatas tak heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Prancis akhirnya dia berkomentar :

“Saya tidak melihat Muslim disini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam”.

Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling islami no 5. Beliau heran melihat penduduk disana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya : “Mengapa harus dikunci ?”

Di kesempatan lain, masih di Kanada. Seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah.

Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan aman.

Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman. Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman ditengah orang-orang yang (mengaku) beriman.

Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrangan masih merah :

“Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda”.

Mengapa kontradiksi ini terjadi ?

Syaikh Basuni, seorang ulama, pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha, ulama terkemuka dari Mesir.

Suratnya berisi pertanyaan :

‎لماذا تأخر المسلمون وتقدم غيرهم؟

(Limaadzaa taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum?)

(“Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju?”)

Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha adalah…

Islam mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya.

Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran ‘iqra’ (membaca) dan cinta ilmu. Sistem pengajaran Islam menjadi dogmatis, apa kata ustadz/ulama menjadi hukum yang harus di ikuti. Tidak kritis dan mendebat ustad/ulama untuk mencari kebenaran. Karena ustadz/ulama juga manusia yang sumber kesalahan. Akibatnya umat Islam sekarang cenderung anti kritik dan siap berperang jika ada yang kritis mempertanyakan sesuatu.

Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dalam hal tradisi membaca dan mencari ilmu. Ajaran Islam hanya di tekankan pada hafalan dan mendengar semata. Bukan kritis dengan argumentasi serta menjadi paham. Meninggalkan riset yang menjadi fondasi dasar berkembangnya IPTEK dan kemajuan peradaban.

Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori ‘low trust society’ yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga.

Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.

 

Siapa yang salah ?

Mungkin yang salah yang membuat ‘survey’…??

 

Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya, pastilah Indonesia ada di ranking pertama. Andaikan hafalan Al Qur’an yang jadi ukuran, mungkin negara-negara Arab yang akan menempati rangking pertama.

Memang bukan hanya itu parameter ke Islaman ..

Tegakan akhlakhul kharimah. Kepada semua umat manusia.

Peduli dengan memberi rasa asah asih asuh..

Wassalam…

AHIMSA

Paket : Edukasi

Tema : Wawasan Politik

Oleh : Mohammad Subhi Ibrahim

AHIMSA: BATAS TERJAUH DARI KERENDAHAN HATI (Catatan 1 Tahun Lalu)

Catatan di bawah ini adalah sari pati dari bagian akhir buku otobiografi Mahatma Ghandi, An Autobiography Or The Story of My Experiment with Truth (Terj. Indonesia, Mahatma Ghandi: Sebuah Autobiografi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran).

Tak ada Tuhan yang lain selain Kebenaran. Satu-satunya cara untuk perwujudan Kebenaran adalah Ahimsa. Segala penjelasan tentang Kebenaran hanyalah secercah kilauan cahaya dari cahaya benderang matahari Kebenaran. Penglihatan yang jelas atas Kebenaran hanya melalui perwujudan Ahimsa.

Untuk bisa melihat Kebenaran, seseorang harus bisa mencintai makhluk terjahat sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Untuk menggapai hal tersebut, seseorang mesti berpartisipasi aktif, tak bisa menghindar dari perjuangan hidup, termasuk berpartisipasi di arena politik.

“Mereka yang mengatakan jika agama tak ada hubungannya dengan politik tak tahu apa arti agama.”

Ahimsa, mewujudkan Kebenaran dalam hidup mensyaratkan ketulusan diri. Tanpa ketulusan diri kepatuhan terhadap hukum Ahimsa adalah mimpi kosong. Tuhan tak akan pernah disadari oleh seseorang yang tak memiliki hati yang tulus. Ketulusan diri berarti ketulusan dalam segala langkah hidup. Ketulusan itu menular. Ketulusan diri seseorang akan menulari orang di sekitarnya. Untuk sampai pada ketulusan sempurna, seseorang harus benar-benar terbebas dari nafsu dalam pikiran, perkataan, dan tindakan.

Dalam konteks ini, pujian duniawi seringkali menyakitkan. Menguasai nafsu tak kasat mata jauh lebih sulit daripada menaklukkan dunia secara fisik dengan senjata. Selama manusia tak memiliki kerelaan, ketulusan diri, maka ia menempatkan diri di bagian terbawah di antara makhluk. Ahimsa adalah batas kerendahan hati yang terjauh. Semoga Tuhan Yang Mahabenar memberkati kita dengan anugerah Ahimsa dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Beragama Itu Dinamis

Tema : Kebijaksanaan

Oleh : Dr. Haedar Bagir

Pondok Pancasila

  1. Aku percaya bahwa akal adalah anugerah-Nya yang menjadikan manusia makhluk paling mulia (ahsan taqwīm). Maka, aku bahkan akan melepaskan segenap keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir atas Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Toh, otoritas-otoritas keulamaan itu berbeda pendapat juga. Namun, aku akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara intelektual dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini kebenarannya.

Aku percaya bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai makna jika ia dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmiah seperti ini, bukan semata-mata dengan simbol-simbol yang tak bisa dijelaskan sepanjang prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan, (semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional, dan sebagainya.

Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam makna yang sesuai dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata otoritas dalam ungkapan ini, yakni “yang bersifat ilmiah”. Semua ini aku yakini karena al-Qur’an, sebagai otoritas tertinggi dalam Islam, mengajarku bahwa agama Islam adalah untuk orang-orang yang berakal, Nabinya pun dengan tegas menyatakan “tak ada agama bagi orang yang tak berakal.” Selanjutnya, penolakanku terhadap segala bentuk otoritas keulamaan qua simbol-simbol itu tentu saja tak terbatas pada otoritas keulamaan masa sekarang, ia malah terutama berhubungan dengan otoritas keulamaan masa lampau, sampai masa lampau yang paling jauh dalam sejarah Islam. Karena opini para ulama masa lampau memiliki peluang lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan masa kita sekarang akibat perbedaan tantangan, budaya, dan psikologi.

  1. Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang diakuinya kapan saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Karena itu, aku tak akan pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Aku selalu sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai bersifat tentatif, selalu siap untuk direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan pertambahan wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
  2. Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah satu-satunya soko-guru ke­ ilmiahan. Aku percaya bahwa akal juga men­cakup apa yang—oleh orang-orang seper­ti Aristoteles, Rumi, Bergson, Heidegger, atau Muhammad Iqbal—disebut sebagai intuisi atau—oleh sebagian pemikir lain—disebut sebagai intelek (intellect). Inilah suatu daya (quwwah) yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ād). Bahkan, aku percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan pendapat-ilmiahku—kumaui atau tidak. Memang, tak seperti penalaran rasional, aku tak bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi bersifat holistik sintetik, dan mengontrol?). Tapi, aku percaya bahwa aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga objektivitas dan keikhlasanku.
  3. Karena adanya kebutuhan agar aku tetap objektif dan ikhlas seperti itu, maka sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar aku akan memelihara fokus pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas (khālif tu’raf), permusuhan pada pendapat yang (sementara ini) tidak aku sepakati, dan sejauh mungkin menyisihkan kemungkinan kesombongan dan kebanggaan dari upaya-upayaku itu. Dan, karena aku sadar bahwa dorongan ke arah nafsu-nafsu seperti itu berpeluang besar untuk mengganggu objektivitas­-ku, maka aku akan secara sadar dan terus-menerus memperbarui niatku, menaklukkan semangat sekadar ingin populer dan menang sendiri, dan membuka akal dan dadaku seluas-luasnya untuk memeriksa opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a priori apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik opiniku sebelum opini-opini yang lain.

Aku percaya, jihād al-nafs (perang melawan hawa nafsu) diperlukan di sini.

5. Aku—meskipun amat kritis—akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang sebagai akumulasi pemikiran umat manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti kata Isaac Newton, kita berdiri “di atas bahu para raksasa” sebelum kita. Bahwa, meski zaman beserta budaya, psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah terus, ada saja yang bersifat perenial dan universal dalam pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya.

Bahkan aku percaya, perlintasan batas waktu itu terjadi hingga masa-masa awal penciptaan manusia. Bukan hanya hingga Plato—yang, oleh Whitehead, pemikiran manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki atasnya—melainkan hingga Hermes Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran Islam) yang dianggap Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia.

Meski kritis, aku tak akan bersikap nihil­istik terhadap khazanah pemikiran masa lampau, karena dengan bersikap demikian aku hanya me­miskinkan­ khazanah ilmu pengetahuan umat manusia, dan khazanah ilmu-pengetahuanku. Dengan demikian, aku tak mau terperangkap ke dalam kebencian terhadap hasil-hasil pemikiran masa lampau karena aku menganggapnya berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku.

Sebaliknya, aku akan mengapresiasinya dan memperlakukannya secara terhormat sebagai khazanah yang berpotensi untuk mem­perkaya pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha untuk tidak melupakan bahwa pada kenyataannya­ hasil pemikiran para pemikir pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan ketat dibanding pemikiran kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa—seperti ditulis, antara lain, oleh Franz Rosenthal—para ilmuwan dan ulama Mus­lim masa lampau juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat. Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca hasil pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini yang terungkap dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap juga oleh para pendahuluku itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu seringkali memakan waktu beberapa generasi, dan melibatkan begitu banyak pemikir yang memiliki berbagai latar belakang, tak urung akan membuatku berpikir: “Jangan-jangan apa yang mereka telah pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku pikirkan sekarang.” Tidak dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir dan merasa cukup dengan hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan baru di atasnya, agar dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu. Alhasil, sikapku terhadap otoritas keulamaan, termasuk otori­tas keulamaan masa lampau, sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsipku dalam berislam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

  1. Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain, betapapun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku. Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the benefits of the doubt, sambil berupaya menerapkan kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar, tapi memiliki peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang untuk benar; juga bahwa, meski aku berbeda pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku junjung tinggi dan aku bela. Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) “tercecer” di mana-mana, di berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya di mana saja aku menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilāf) adalah suatu rahmat, yang—jika kita sikapi dengan benar—akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran.

Dengan kata lain, makin melengkapkan pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu bersifat parsial. Aku tak akan pernah lupa bahwa kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa satu kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Untuk keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap seperti Imam Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak mengkritik, kita harus berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam Ghazali yang berjudul Maqāshid al-Falāsifah—yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibn Sina—sempat dikelirukan sebagai karya Ibn Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap pemikiran filsuf yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu). Bahkan dalam opini yang sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita, selalu ada peluang kebenaran yang bisa kita pungut. Dalam kerangka ini, aku akan menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik, apalagi sinikal.

Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural, menyesatkan (misleading) dan, dengan demikian, merusak objektivitas kita.

Sebaliknya, aku akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes, dalam menanggapi opini yang tidak kusetujui itu agar suatu dialog yang produktif, konstruktif, dan saling memperkaya akan tercipta. Meski, misalnya, para penganut pendapat yang tidak aku setujui bersikap negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar bahwa mereka bukan guruku. Bukankah memang sudah sikapku bahwa kancah pemikiran harus selalu dibiarkan terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku mengkritik mereka justru karena sifat tertutup, totalitarian, dan otoritariannya? Juga, karena aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasif, asalkan kita telaten dalam mengajukan hujah-hujah kita yang meyakinkan kepada mereka. Dan juga karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu besar antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang produktif dan silaturrahmi yang tulus di antara kami.

Aku yakin bahwa ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lain merupakan produk sikap sombong, merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

  1. Aku akan berusaha memisahkan sebisanya unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan mengembali­ kan unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena jus­tru akan mempersulit diri dan mendorong munculnya sikap-sikap reaksioner dan obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya menyelusup—melainkan “mengangkangi”—ke semua detail aktivitas kita secara tidak perlu. Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan akal yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi ada batas-batasnya. Bahwa, betapapun, agama sebagai agama meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara sekularisasi dan sekularisme—yang tidak aku sepakati—tidak selalu jelas.

Setidaknya, kalaupun aku yakin bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral dan etika, aku sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan manusia yang mana pun.

Meski aku percayai dalam banyak hal ber­ sifat kontekstual dan historis, aku juga yakin bah­wa banyak juga teks-teks (nashsh) keagamaan yang berbicara mengenai hukum, politik, ekonomi. Sulit bagiku untuk menutup sama sekali pintu untuknya. Karena boleh jadi ia masih juga bisa menjadi­ suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber pemi­ kiran­ nonkeagamaan. Meminjam istilah ushūl al-fiqh, kalau tak bisa menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah), nas-nas yang bersifat kontekstual dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber peraturan sekunder (tsanawiyyah).

  1. Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus selalu ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman. Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan sifatnya yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla yaum huwa fī sya’n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka, ijtihad pun menjadi niscaya—Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau sokoguru gerakan dalam Islam—demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku juga tahu bahwa ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai “pelengkap penderita” dalam kita mencari jawab terhadap tantangan-tantangan zaman itu. Maksudku, bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku memanipulasinya agar sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a priori.

Dengan kata lain, ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to (tertunduk­kan kepada) keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku merupakan suatu sikap yang mengkhianati integritas intelektualku. Kalau aku percaya pada kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual yang lainnya. Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang tidak bisa aku selesaikan di antara keduanya, aku harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan, meski hanya untuk sementara. Karena, pada dasarnya, seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku percaya bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih (atau qath’iy, menurut istilah keagamaannya) ultimately tak akan bertentangan dengan teks-teks atau nas-nas yang dipahami secara sahih (qath’iy) pula.

9. Pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya akan ber­sifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan segala latar belakang sosiologis, psikologis, dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan subjektivitasku, kemudian melihatnya secara historis dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi (maqāshid)-nya, untuk akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan zamanku. Ini sama seka­li bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya pilihan lain jika hendak objektif.

Meskipun demikian, aku sadar bahwa hermeneutika memiliki jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali Tuhan—the ultimate being. Karena itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar (jihad akbar)—lagi-lagi, jihad melawan hawa nafsu—sajalah yang dapat membantu kita melakukannya. Kemudian, melihat secara historis dan kontekstual, mengharuskanku untuk dapat memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin berkelindan secara amat kompleks, kalau tak malah sering saling bertentangan. Dan seterusnya.

Aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir Muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis Muktazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras untuk mempraktikkan pendekatan ini lewat apa yang mereka sebut sebagai ta’wīl. Yakni, menyelam dalam-dalam ke lapis-lapis teks-teks suci al-Qur’an dan Sunnah—demi memungut mutiara-mutiara ilham yang terpendam di bawah permukaan tafsir “biasa”. Suatu teknik yang bukan saja mengandaikan daya imajinal untuk masuk ke dunia supra-konkret—dunia yang lebih estetik dan rohani (spiritual)—melainkan juga dipandu oleh suatu “sistem” gagasan spesifik yang biasa disebut ‘irfan (tasawuf filosofis).

Tapi, pada saat yang sama, aku juga akan mengambil manfaat dari orang-orang yang memujikan pendekatan literal, karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak akan membantuku untuk mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak mencari makna hermeneutika teks-teks tersebut. Bahkan, aku sadar, aku tahu, pendekatan literal bukan saja tak bertentangan dengan ta’wīl, tapi malah merupakan bagian dari prosedurnya.

Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat bahkan Sufi se-“liar” Ibn ‘Arabi pun ngotot dengan makna asal kata-kata karena bagi orang-orang seperti ini ta’wīl—sebagaimana hermeneutika—bukanlah mencari­ makna yang bukan orisinal, melainkan justru mengembalikannya kepada yang asal itu.

  1. Akhirnya, aku akan selalu meminta pertolongan (‘ināyah) dan petunjuk (hidāyah) dari Allah Swt. Sang Kebenaran (al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (al-Hādi), karena aku amat sadar kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.

Wa Allāh a’lam bi al-shawāb.[]

Diambil dari buku Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau karya Haidar Bagir.

islam-tuhan-islam-manusia

Logika Universal – Parsial

Tema : Logika

Oleh : Budayawan Nyamar

jenis-akal-manusia

Pondok Pancasila – Semua orang memang diberi akal. Tapi akalnya adalah akal parsial, yang tidak sama dengan Akal Pertama sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan. Manusia punya jiwa tapi berbeda dengan “Jiwa Universal”  yang keluar dari Akal Pertama.

Karena itu, tanpa logika akal kita tidak berguna. Dengan logika kamu dapat memenangkan argumen, menyingkirkan atau menyadarkan orang.

Apakah logika itu ?

Ialah yang menetapkan hukum bahwa 2+2 =4.

Logika adalah “Logos” yang membuat segalanya menjadi logis, prinsip utama manusiawi dan tata kosmik. Logika inilah yang kemudian membimbing akal parsial pada keharusan kesempurnaannya untuk menuju Akal Pertama, Akal Universal.

Kepada akal parsial diperkenalkan agama parsial. Mengambil prinsip dari salinan sempurna yg kecil ini menuju cakrawala Universal.

Semua pakai Logika!

TUHAN ADA, ADA TUHAN

Tema : Ketuhanan

Oleh : Eza Azerila

Pengantar

Pondok Pancasila

 

AKU lebih berhak mengklaim seluruh tindakan baik dan bajikmu daripada kamu karna kamu melakukan kebaikan dan kebajikan itu berkat fasilitas lahir batin dariKu.

Dan kamu lebih bertanggungjawab atas segala tindakan buruk dan busukmu, karna Aku memfasilitasi hidupmu untuk tujuan-tujuanKu bukan demi kepentingan dan ambisi-ambisimu

cahaya-eksistensi

Matamu melihat duit. Akalmu melihat kertas. Kesadaranmu mengatakan bahwa duit kertas itu dapat berguna bukan karna dia duit atau karna dia kertas tapi karna duit kertas itu ADA. Jika tidak ADA maka semua tak berguna.

Udara yang kamu hirup itu, air yang kamu minum itu, bumi yang kamu injak itu, tubuhmu yang berjalan itu, semua berfungsi bukan karna dia udara, bukan karna dia air, bukan karna dia bumi dan bukan karna dia tubuh, tapi karna dia-dia semua itu ADA.

 

Yang ADA hanya ADA Sendiri. Dia tunggal. Dia ingin dihirup sebagai udara. Ingin diminum sebagai air. Ingin diinjak sebagai bumi. Dan ingin berjalan sebagai tubuhmu yang hidup.

Yang ADA hanya ADA selain ADA tiada.